Filsafat & Teknologi
Dari Ruang Gema ke Simulasi Semesta: Jejak Evolusi Realitas di Era Algoritma dan AI
Oleh: Simon Sarbunan - Dipublikasikan: 27 Agustus 2025
Diskusi ini bermula dari sebuah pertanyaan sederhana tentang "ruang gema" (*echo chamber*)—sebuah gejala permukaan dari pergeseran tektonik yang didorong oleh mesin tak terlihat: algoritma. Algoritma media sosial, yang dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan, telah menjadi arsitek utama dari realitas digital kita, membangun dinding-dinding persepsi yang mempolarisasi masyarakat dan mengikis fondasi kebenaran bersama.
Bagian 1: Krisis Kebenaran Era Algoritmik
Inti dari masalah awal adalah personalisasi. Untuk menjaga kita tetap terpikat, platform digital menyajikan dunia yang disesuaikan untuk kita. Konsekuensinya sangat besar: polarisasi masyarakat, erosi otoritas institusi tradisional, dan lahirnya kondisi pasca-kebenaran (*post-truth*), di mana emosi dan keyakinan personal menjadi lebih berpengaruh daripada fakta objektif.
Bagian 2: Diagnosis Melalui Lensa Hyperreality
Filsuf Jean Baudrillard, dengan teori **Hyperreality**, berpendapat bahwa kita telah memasuki era di mana simulasi atau representasi dari realitas (simulacrum) menjadi lebih nyata dan berpengaruh daripada realitas itu sendiri. Umpan (*feed*) media sosial adalah ruang hyperreal yang sempurna; sebuah simulasi dunia yang lebih dramatis dan menarik daripada "gurun realitas" di luar sana. Di dalam ruang ini, narasi dan citra mengalahkan data.
"Kita hidup dalam sebuah dunia di mana peta telah mendahului wilayah—dan peta itulah yang menciptakan wilayah." - Jean Baudrillard (diadaptasi)
Bagian 3: Eskalasi Ekstrem – Realitas Sintetis oleh AI Generatif
Jika algoritma kurasi adalah *Hyperreality 1.0*, maka AI Generatif (teknologi deepfake, GPT, Midjourney) adalah *Hyperreality 2.0*. Pergeserannya fundamental: dari **kurasi realitas** menjadi **kreasi realitas**. AI kini dapat memproduksi konten fotorealistik dari peristiwa yang tidak pernah terjadi. Ini membawa kita pada runtuhnya prinsip "melihat adalah percaya" dan lahirnya simulasi yang tidak hanya meniru dunia, tetapi juga meniru penghuninya.
Bagian 4 & 5: Trajektori Masa Depan dan Implikasi Filosofis
Lintasan ini membawa kita menuju **Simulasi Imersif** (melalui AR/VR) dan puncaknya, **Simulasi Ontologis** (melalui Brain-Computer Interface). Di tahap akhir ini, konsep seperti memori sintetis dan kesadaran yang dapat diprogram menjadi mungkin. Hal ini memaksa kita untuk menghadapi pertanyaan paling mendasar tentang eksistensi: Apa itu identitas jika kesadaran adalah data? Apa arti kematian jika ia hanyalah "kerusakan hardware"? Apa makna perjuangan jika pengalaman bisa diunduh?
Kesimpulan: Menuju Literasi Eksistensial
Perjalanan dari ruang gema ke simulasi ontologis bukanlah fiksi ilmiah; ini adalah lintasan logis dari teknologi yang sedang kita kembangkan hari ini. Tantangan terbesar yang dihadapi peradaban kita bukanlah menciptakan AI yang lebih cerdas, tetapi mengembangkan kebijaksanaan untuk mengelolanya. Kita tidak hanya membutuhkan literasi digital, tetapi juga **literasi eksistensial**—kemampuan untuk bertanya dan bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang makna, kesadaran, dan tujuan hidup di tengah realitas yang semakin cair. Perjalanan ini baru saja dimulai.