Sosial & Budaya Digital

Kebenaran di Ruang Gema TikTok: Saat Agama Menjadi Tontonan

Oleh: Simon Sarbunan - Dipublikasikan: 27 Agustus 2025

Ilustrasi konseptual perdebatan digital
Di arena digital, pencarian kebenaran seringkali berubah menjadi pertunjukan identitas.

Di sudut-sudut TikTok Indonesia yang tak pernah tidur, sebuah fenomena baru mencuri perhatian: "komal" atau ruang diskusi live, di mana para apologet dari berbagai agama berdebat sengit, seringkali hingga berhari-hari. Fenomena ini memunculkan pertanyaan fundamental: Apakah teknologi ini membuka ruang baru untuk menemukan kebenaran agama, atau justru sebaliknya?

Algoritma Tidak Peduli Kebenaran, Ia Peduli Konflik

Penting untuk memahami bahwa algoritma TikTok tidak dirancang untuk memfasilitasi dialog teologis. Tujuannya adalah memaksimalkan keterlibatan (*engagement*). Dan bahan bakar terbaik untuk keterlibatan adalah konflik. Perdebatan sengit dan narasi "kami vs mereka" menghasilkan waktu tonton yang luar biasa. Akibatnya, platform secara alami mengamplifikasi suara yang paling keras dan konfrontatif. Ruang yang terbuka bukanlah ruang kebenaran, melainkan arena pertunjukan.

Psikologi di Balik Polarisasi Digital

Fenomena "komal" menjadi efektif karena ia secara sempurna mengeksploitasi bias kognitif yang melekat pada diri kita. Ada beberapa teori psikologi kunci yang bekerja di sini:

  • Bias Konfirmasi: Kecenderungan alami otak untuk mencari informasi yang mengonfirmasi keyakinan kita. Penonton tidak datang untuk belajar, tetapi untuk mencari validasi.
  • Teori Identitas Sosial (Henri Tajfel & John Turner): Kebutuhan kita untuk merasa positif tentang kelompok kita (*in-group*) dengan cara merendahkan kelompok lain (*out-group*). Debat ini menjadi pertarungan identitas, bukan ide.
  • Disonansi Kognitif (Leon Festinger): Ketidaknyamanan mental saat dihadapkan pada argumen kuat dari lawan. Cara termudah meredakannya adalah dengan menolak argumen tersebut dan semakin berpegang teguh pada keyakinan awal.
"Teknologi tidak menciptakan kebencian, tetapi ia memberinya megafon dan audiens global."

Hasil Akhir: Fanatisme, Bukan Konversi

Meskipun mungkin ada kasus perpindahan keyakinan individual, dampak skala besar dari fenomena ini bukanlah pencerahan, melainkan pengerasan posisi. Arsitektur ruang gema, format debat yang agresif, dan penguatan identitas kelompok secara kolektif menciptakan lingkungan yang jauh lebih mungkin menghasilkan fanatisme daripada pemahaman lintas iman. Alih-alih menjadi jembatan, teknologi di sini berfungsi sebagai tembok pemisah yang diperkuat secara algoritmik.

Kesimpulan: Relevansi Baru Agama di Era Digital

TikTok tidak membuat agama menjadi tidak relevan. Justru sebaliknya, ia memberinya panggung raksasa yang membuatnya terasa lebih relevan dari sebelumnya, namun bukan sebagai jalan spiritual personal, melainkan sebagai **penanda identitas suku digital**. "Kebenaran" yang diperdebatkan di panggung ini adalah kebenaran versi hyperreal—telah disederhanakan, dipersenjatai, dan diubah menjadi tontonan. Sebuah pengingat bahwa di Batas Realitas, bahkan pencarian akan yang ilahi pun dapat menjadi konten.